Pulang...

0 Comments

Ka, mama sakit. 
Mau sampai kapan kakak seperti ini?
Mama sudah berubah pikiran dan melupakan kejadian itu
Pulanglah...
*****
"Mama selalu seenaknya sendiri. Ga pernah ngasih aku kesempatan buat milih!" Aku langsung menjauh dari ruang keluarga begitu mendengar ide mamaku. Ide yang menurutku konyol. Bayangkan saja aku akan dijodohkan dengan anak temannya yang orangnya saja aku tak tahu.
"Tapi ini semua demi kamu, Ras!" Mama masih saja berusaha membujukku.
"Demi aku atau demi mama. Aku kuliah mama yang milih jurusan, Sekarang mama mau jodohin aku. Aku ga mau!" Nada suaraku makin meninggi.
"Tapi kamu menikmati dunia kuliahmu kan? Apa yang salah?" Mama masih merasa tak bersalah dengan semua keputusannya terhadap hidupku selama ini.
"Aku berusaha menikmati semua ma. Itu semua demi mama. Tapi untuk yang satu ini, please biar aku yang mutusin." Aku memandang mama dengan tatapan memohon.
"Ini udah keputusan mama. Kalau papamu ada, dia pasti mendukung ini semua." Mama berkata dengan nada tenang dan dingin.
"Ga usah bawa-bawa papa Ini hidupku ma. Aku berhak milih buat hidup aku." Aku berkata dengan tak kalah dinginnya, berharap wanita di depanku mengalah.
"Dengan mengabaikan mama?..." Mama melihatku dengan tatapan datarnya, mendekatiku.
"Aku tetap ga mau ma..."
Plakk. Sebuah tamparan melayang di pipi kiriku menimbulkan rasa sakit dan panas yang bersamaan, membuat air mataku mulai merembes keluar.
"Mana anak mama yang penurut? Kamu bukan anak mama. Pikirkan lagi semua kalimat penolakanmu Ras. Keputusan mama tidak akan berubah!" Mama berjalan menjauh, meninggalkanku yang sedang terisak.
.
*****
"Tiketnya mbak?" Aku tersadar dari lamunanku. Seorang pemuda berdiri di sebelah kursiku. Aku menyerahkan selembar tiket bus. Tak lama tiket tersebut dikembalikan padaku. Aku melihat sekeliling. Bus belum terisi penuh, tapi nampaknya akan segera berangkat. Aku merubah posisi dudukku senyaman mungkin. Menyandarkan kepalaku ke kaca jendela, berusaha mengingat dan mengulang memori yang tetap tersimpan diingatanku, memori tiga tahun lalu.

Ya, sudah sekitar tiga tahun aku pergi dari rumah, merantau, sejak kejadian rencana perjodohan mama. Aku pergi tanpa pamit dan selama itu aku tidak pernah pulang. Aku tidak menghiraukan telepon dan sms dari mama. Hanya sms dari adikku, Rama, yang kadang aku balas, mengabarkan bahwa aku baik-bik saja.

Tidak mudah memang bagi seorang wanita muda pergi merantau, apalagi alasannya karena menolak suatu perjodohan. Tapi setidaknya, selama tiga tahun aku menjalani hidup yang aku inginkan. Ga kangen? Tentu saja aku kangen. Terutama pada mama. Tapi setiap ingat kata-kata terakhirnya, selalu membuatku benci, sedih, dan takut. Selalu kutahan rasa ingin pulang. Hingga akhirnya sms terakhir dari Rama membuatku benar-benar ingin pulang.

*****
Taksi berhenti di depan sebuah rumah bertingkat sederhana. Aku meraih koper kecil dan membayar pada supir. Kupandangi rumah yang sudah tiga tahun aku tinggalkan. Suasananya tak lagi sama. Halamannya tampak tak terawat. Seperti rumah yang ditinggalkan penghuninya, rerumputan liar tumbuh di beberapa sudut halamn. Rumpun mawar yang dulu subur tak lagi terlihat. Aku membuka pagar yang tak terkunci dan melangkah melewati halaman. Ma...Laras pulang.
*****



You may also like

No comments: