Si Gadis Cappucino

1 Comments



Dia masih di sana. Duduk sendiri menikmati secangkir cappucino  yang dipesannya. Menghirup dalam aromanya, seolah-olah itu nafas kehidupannya. Tak ada ekspresi lain selain senyum yang aku sendiri sulit mengartikannya saat dia meneguk cappucino itu perlahan. Lalu  dia kembali melihat pemandangan di depan lewat kaca bening cafe. Sesekali dia menyuap brownis yang menjadi teman minumnya. Caranya menikmati itu semua terlihat begitu mengesankan dimataku.
 
Aku tak tahu siapa dia. Gadis berusia sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun aku kira. Wajahnya masih belia khas anak SMA  dengan rambut sebahu yang selalu diikat ekor kuda. Selalu datang tiap dua atau tiga hari sekali dengan penampilan yang begitu keren menurutku. Kaos dengan celana jeans selutut plus sneaker. Nampaknya dia menyukai warna hitam. Karena hampir semua yang dia pakai berwarna hitam. Cocok sekali dengan kulitnya yang kuning langsat. Tak ada make up berlebihan. Terlihat natural. Benar-benar gadis yang mengesankan.
“Mas cappuccino satu sama brownis yah!” Katanya sore itu seperti biasa. Dengan seulas senyum yang singkat. Kemudian memilih tempat duduk di pojok  depan seperti biasa. Menatap keluar, seperti menunggu seseorang untuk datang.
Cappuccino. Itu yang selalu dia pesan. Cafe  tempatku bekerja memang terkenal dengan olahan kopinya yang enak. Walaupun ada banyak variasi kopi di cafe ini, dia selalu memesan cappuccino. Entah karena dia suka atau karena ada hal yang lain. Kuantar segera pesanannya tersebut. Aku tak mau membuatnya menunggu lama.
“ Permisi mba. Ini pesanannya.” Kataku sembari meletakkan secangkir cappuccino dan sepiring kecil berisi beberapa potong brownis.
“ Makasih mas.” Jawabnya dengan senyum yang begitu hangat. Kubalas dengan senyum seramah mungkin.
Kutinggalkan meja tempatnya duduk. Namun masih kuperhatikan dia. Dia melakukan hal seperti biasa. Menghirup dalam aroma cappuccino dengan senyum yang aku tak tahu maksudnya. Mengesankan. Namun terkadang aku berpikir dia agak aneh. Hanya karena menikmati cappuccino dia tersenyum seperti itu. Entah senyum senang, kagum , atau…entahlah. Aku masih belum tahu jawabannya sampai sekarang. Masih kuperhatikan dia hingga akhirnya temanku memanggil untuk mengantar pesanan ke meja lain.
*****
Sudah lama aku bekerja di cafe. Aku  menikmati pekerjaanku, walaupun hanya sebagai pelayan cafe. Sebenarnya aku bukan orang susah yang harus bekerja sambil kuliah. Namun semua kulakukan untuk mengisi waktu luangku. Tak disangka aku betah dengan pekerjaan ini dan hasilnya lumayan untuk menambah uang saku kuliahku. Jam kerjanya juga enak. Aku bisa mulai bekerja setelah jam kuliahku selesai. Untung aku kuliah pagi, jadi aku bisa mulai bekerja saat sore hari.
kadang ada saat yang tidak menyenangkan menjadi pelayan. Saat mendapat complain dari tamu. Itu saat yang tidak menyenangkan karena terkadang kesalahan tidak terletak pada kita. Tapi aku anggap itu sesuatu yang membuatku lebih baik. Tapi lebih banyak hal menyenangkan. Contohnya saat tamu merasa puas dengan pelayanan kita dengan memberikan senyum. Seperti yang dilakukan gadis dengan senyum misterius itu. Ahh…kenapa lagi-lagi dia muncul dibenakku.
*****
Sore hari itu langit tampak gelap. Gemuruh kadang terdengar. Beberapa tamu mulai pergi. Mungkin ada perlu ke suatu tempat, takut keburu hujan. Beberapa lagi masih bertahan,menghabiskan waktu. Langit mulai menjatuhkan titik-titik beningnya. Tak lama titik-titik bening berubah deras mengaburkan pemandangan di depan cafe. Sempat terlihat olehku sesosok tubuh berlari dari seberang jalan menuju cafe.
Dia datang. Gadis dengan rambut ekor kuda dan berpenampilan keren namun sederhana. Gadis yang selama ini diam-diam selalu aku nanti untuk datang. Dia terlihat berbicara dengan temanku sesama pelayan cafe. Kemudian dia duduk di tempat biasa. Pojok depan. Tempat favoritnya. Tempat di mana dia bisa memandang keluar dengan leluasa.
Aku masih memperhatikannya dari balik meja order. Tampak dia mengelap butir-butir air hujan yang membasahi wajahnya dengan saputangan biru lembut. kontrast dengan warna pakaiannya yang serba hitam. Sesekali dia merapikan poninya yang agak basah namun tak terlihat ingin membetulkan rambut ekor kudanya yang ikatannya terlihat mengendur akibat berlari.
Cappuccino dan brownis. Pasti itu yang dia pesan. Entah mengapa aku merasa bangga karena tahu kesukaannya. Temanku tampak mengantar pesanannya. Kemudian dia melakukan kebiasaan pada cappuccinonya. Menghirup dalam sambil tersenyum.
*****
Sudah beberapa hari ini aku tidak masuk kerja. Sedikit kurang enak badan, ditambah tugas kuliah yang mulai menumpuk akhir-akhir ini. Untunglah bosku orang yang baik. Aku diperbolehkan untuk tidak masuk kerja. Namun sore itu aku merasa bosan di kost. Aku merasa badanku lebih baik dari sebelumnya. Kuputuskan untuk pergi ke cafe tempatku bekerja. Kutinggalkan tugas kuliah yang belum selesai begitu saja. Aku ingin ke cafe. Lebih tepatnya aku ingin ke cafe untuk melihat dia. Yah dia….gadis dengan rambut ekor kuda yang membuatku terkesan. Entah mengapa aku selalu ingin melihatnya.
Kuparkir motorku bersama beberapa motor para pengunjung cafe. Aku  merasa berbeda sekali saat memasuki cafe. Mungkin karena kali ini aku datang sebagai salah satu pengunjung cafe. Aku menghampiri teman-temanku yang terlihat di balik meja order.
“ Bagaimana kondisimu?” Tanya seorang temanku.
“ Jauh lebih baik.” Jawabku dengan senyum yang terlihat agak lesu.
“ Kau datang untuk bekerja? Padahal bos memperbolehkanmu istirahat selama kau masih sakit.” Temanku berkata lagi.
“ Maaf kawan. Aku datang bukan untuk bekerja. Aku datang sebagai tamu. Jadi kalian harus melayaniku.” Aku berkata dengan mimik muka seolah-olah aku adalah seorang raja.
Mereka bersama-sama berusaha memukulku. Memukul dalam arti bercanda tentunya. Namun kami langsung bubar ketika atasan pelayan berdehem dari pintu dapur memperhatikan tingkah laku kami yang seperti anak kecil.
“Aku mau secangkir cappuccino dan brownis.” Aku berkata pada temanku.
“Silahkan duduk di tempat yang anda suka, sepanjang itu tidak mengganggu pengunjung yang lain. Pesanan anda akan segera diantar.” Temanku berkata seolah-olah tidak mengenalku. Aku hanya tersenyum.
Aku melihat seisi cafe. Dia tidak ada di meja pojok depan, tempat favoritnya. Aku datangi meja tersebut yang kebetulan kosong. Aku ingin duduk di sini. Siapa tahu nanti dia datang dan duduk juga di sini. Lebih baik lagi kalau bisa berkenalan,batinku dalam hati.
Aku pandangi pemandangan di depan cafe dari balik kaca bening cafe. Tampak berbagai pemandangan. Ada sepasang muda-mudi tengah berjalan bersama sambil tertawa. Sekelompok gadis yang tampak keluar dari toko baju. Seorang ibu yang berusaha mendiamkan anak kecilnya dari tangis. Dan masih banyak lagi. Kenapa pemandangan ini terlihat begitu menyenangkan kali ini. Ini kah yang sering dilihat olehnya.
Aku menoleh saat temanku datang membawa pesananku. Secangkir cappuccino dan beberapa potongan brownis di piring kecil. Aku mengucapkan terima kasih. Kemudian dia pergi. Kupandangi sesaat cappuccino yang masih mengepulkan asap panas tersebut. Tampak gambar menyerupai bintang dipermukaannya. Agak aneh karena biasanya aku yang menyajikan untuk dinikmati. Tapi kali ini disajikan untuk aku nikmati.
Kuangkat perlahan cangkir cappuccino tersebut. Menghirup dalam aromanya sambil tersenyum. Diriku tertawa dalam hati. Apa yang aku lakukan? Meniru dia? Entahlah. Aku hanya ingin melakukannya. Kuteguk perlahan cappuccino tersebut dan kembali melihat pemandangan di depan cafe sambil menyuap potongan brownis ke dalam mulutku.
Secangkir cappuccino telah habis aku nikmati. Begitu juga dengan brownis yang terasa cocok sekali dengan cappuccino. Namun saat itu juga, dia yang aku tunggu tidak muncul. Tidak datang ke cafe untuk melakukan kebiasaannya. Karena merasa sia-sia, aku segera pergi ke kasir. Membayar pesananku dan keluar cafe.  Mungkin aku belum beruntung hari ini, batinku. Dan kulajukan motorku kembali ke kostku.
*****
Sudah hampir dua minggu ini aku tidak melihatnya. Aku tidak tahu apa yang membuatnya tidak datang ke cafe. Ini tidak biasanya. Kemana dia? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia sakit? Atau sesuatu telah terjadi dengannya? Berbagai pertanyaan tengah berkecamuk dalam otakku. Tapi satu yang pasti. Aku merindukannya. Aku merindukan senyumannya. Merindukan caranya memandang keluar jendela. Caranya menghirup cappuccino. Aku benar-benar dibuat rindu olehnya.
*****
Aku kembali ke rutinitasku. Namun aku tetap memikirkannya. Aku masih memikirkan kenapa dia tidak pernah datang akhir-akhir ini. Semua selalu kujawab dengan jawaban yang aku kira sendiri, mungkin dia sibuk. Yah mungkin saja dia sibuk. Dia masih terlihat seperti anak SMA. Dan sekarang sedang musim ujian. Bisa saja dia ikut les, bimbingan belajar, dan lain sebagainya. Pasti ada saatnya untukku mengenalnya, batinku dalam hati.
*****
Sore itu seperti sore-sore biasanya, aku berangkat ke cafe dengan motor untuk bekerja. Kulajukan motorku perlahan karena jalanan yang  macet. Suara klakson mobil dan motor terdengar bergantian. Apakah para pengendara itu tidak tahu kalau sedang macet, sampai harus menekan klakson berkali-kali, tanyaku dalam hati. Kita semua juga ingin cepat sampai. Tapi apalah daya.
Saat melaju perlahan di dekat pemberhentian taksi, aku melihat sosok yang kukenal. Sosok dia yang begitu ingin aku lihat karena tidak terlihat akhir-akhir ini. Dia  dengan rambut ekor kuda khasnya dengan penampilan keren namun sederhana di mataku. Dia terlihat sedang menunggu taksi. Sayangnya sang taksi terjebak macet di belakang sana. Akupun menepikan motorku.
“Mau ke mana?” tanyaku  sambil membuka kaca helmku.
“Mau ke cafe.” Jawabnya dengan senyum tersungging di bibirnya begitu melihat yang bertanya adalah aku.
“ Mau bareng?” tanyaku lagi sambil menyodorkan helm cadangan yang selalu aku bawa.
Dia tidak menjawab. Hanya mengambil helm yang kusodorkan dan langsung duduk di boncengan motorku. Motor kembali aku lajukan membelah kemacetan jalan.
“Aku Dipa.” Kataku mulai memperkenalkan diri dengan tetap memboncengnya.
“ Karin.’ Katanya samar bersamaan dengan deru dan suara sahutan klakson kendaraan, namun masih bisa kudengar . Motorku terus melaju bersama Karin menuju cafe di mana dia telah membuatku terkesan.


You may also like

1 comment: