Ketika Bapak Tak Mau Pergi

2 Comments
sumber gambar: pinterest.com
"Bapak yakin ga mau tinggal bersama kami?" Pertanyaan itu lagi-lagi keluar dari mulut Nisa. Matanya menatap penuh harap pada lelaki tua yang tengah duduk di kursi goyang. Lelaki tua tersebut adalah Ramli, bapak Nisa. Ramli hanya diam dan tersenyum.
"Kan sudah bapak bilang toh nduk. Bapak tetap di rumah ini. Terlalu banyak kenangan yang tak bisa bapak tinggalkan di sini."
"Tapi kan bapak tetap bisa datang ke rumah ini sebulan sekali. Atau kalau bapak mau seminggu sekali. Yang penting bapak tinggal sama Nisa jadi ada yang merawat bapak."

Ramli memandang putri satu-satunya tersebut. Wajah Nisa mengingatkan pada almarhum istrinya yang telah meninggal bertahun-tahun silam. Saat itu usia Nisa masih 14 tahun, masih kelas 2 SMP. Sejak itu Ramli seorang diri merawat Nisa dan kakak Nisa, Farid, menjadi bapak sekaligus ibu bagi keduanya.

Farid telah menikah  3 tahun yang lalu dan kini tinggal di luar kota. Adapun Nisa, telah menikah seminggu yang lalu dengan lelaki pilihannya. Suami Nisa berencana memboyong ayah dan anak tersebut ke rumah baru yang telah dipersiapkan. Letaknya 3 jam perjalanan dari rumah Nisa yang sekarang. Tak jauh memang, karenanya Ramli memilih untuk tetap tinggal di rumah lama, rumahnya sendiri. Tapi Nisa bersikeras agar Ramli ikut.
"Nduk, bapak ga apa-apa tinggal sendiri. Merawat kamu dan Farid sampai besar saja bapak bisa masa merawat diri sendiri ga bisa," katanya dengan bangga dan senyum teduh yang menghiasi wajahnya.
"Siapa yang akan memasak buat bapak?"
"Loh kamu lupa ya. Bapak ini kan juga bisa masak. Malah kalo ga salah kamu sendiri yang bilang bapak ini koki yang hebat."

Mau tak mau Nisa mengingat kembali kenangan saat baru ditinggal sang ibu. Bapaknya tersebut sering memasak untuk Nisa dan Farid. Bahkan terkadang sempat membuatkan bekal untuk Nisa. Tapi menginjak SMA, Nisa yang mengambil alih kegiatan memasak. Nisa merasa harus berperan juga untuk keluarganya.
"Tapi pak...," suara Nisa terputus.
"Wes to nduk, bapak tetap di sini. Pergilah, suamimu sudah menunggu."

Nisa merasa sia-sia saja membujuk sang bapak. Dengan enggan Nisa berjalan ke luar rumah, menghampiri suaminya yang telah menunggu. Tampak keduanya berbicara dengan serius. Sementara Ramli memandang dari pintu depan. Memandang putri satu-satunya yang sangat dicintainya. Dalam hati ada perasaan tak rela Nisa harus pergi. Dia masih tak menyangka harus berpisah dengan Nisa, gadis kecilnya. Selang beberapa menit, Nisa dan suaminya mendekat ke arah Ramli. Sejenak mereka diam.
"Pak, Saya titip Nisa ya?" Suara Bagas, suami Nisa, memecah keheningan diantara mereka bertiga. Ramli tampak heran. Bagas segera menyalami tangan Ramli yang menampakkan keriput dan pamit pergi.
"Loh nduk, kamu...," kini suara Ramli yang terputus.
"Nisa memilih tinggal di sini sama bapak. Mas Bagas sudah mengizinkan. Dia akan datang ke sini tiap akhir pekan."
"Tapi kalian kan baru menikah," Ramli masih tak percaya dengan apa yang barusan terjadi.
"Pak, orang yang paling Nisa cintai itu bapak. Nisa ga bisa tinggal jauh dari bapak. Kalo mas Bagas memang mencintai Nisa, dia ga akan keberatan dengan jarak yang tak seberapa ini."

Ramli memandang haru Nisa yang tengah menuntunnya masuk ke dalam rumah. Dia tak menyangka Nisa akan berbuat seperti itu. Sekilas ditatapnya foto mendiang sang istri. "Aku berhasil menjadikannya wanita bu," batinnya dalam hati.


You may also like

2 comments:

  1. Aahhh so sweeet. Jadi kangen Bapak. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih mbak sudah membaca. Aku suka kalo bikin cerita tentang bapak hehe

      Delete