Pemuda dari Kota

1 Comments
Rumah adat jawa
Source: kaskus.com
Dia baru saja pulang dari kota. Dia tampan, berpendidikan tinggi dan mapan. Semua orang di kampung kami mengenalnya. Setiap dia terlihat di jalan, orang-orang akan membicarakannya. Ah lihat betapa tenarnya dia, dan semua itu dia raih diusianya yang masih muda, 27 tahun.

Aku masih ingat ketika kami berumur 8 tahun, ketika kami masih bersama-sama pergi  mengaji di masjid kampung. Dia yang paling sering menangis karena sandalnya disembunyikan. Atau ketika kami bermain karet gelang, karetnyalah yang sering kami hutang tapi tak pernah kami kembalikan. Tapi lihat dia sekarang. Apakah aku, atau kami, teman-teman masa kecilnya, harus iri melihatnya? Entahlah.

"Kamu terlihat sehat Ndra." Suaranya menyapaku sore itu, ketika aku dalam perjalanan pulang dari masjid. 
"Seperti yang kamu lihat Res," aku menimpali. Langkahnya menyejajariku. Tak kulihat mobil yang biasa dia bawa. Malah aku heran melihatnya jalan kaki.
"Kudengar kamu dekat dengan Ayu." Ada sedikit penekanan dalam kalimatnya.
"Kami memang dekat." Pikiranku mengingat sosok Ayu yang sedang kami bicarakan. Gadis dengan rambut hitam panjang itu memang menjadi primadona di kampung kami. Selain cantik, Ayu juga baik dan ramah, tak sungkan berbaur dengan orang-orang. Kalaupun kami dekat itu wajar, karena kami sering bekerja sama dalam kegiatan remaja masjid di kampung kami.
"Aku akan melamar Ayu." Ucapan Restu penuh percaya diri, membuatku menghentikan langkah kakiku, memandangnya.
"Oh ya?" Aku berusaha mencari kepastian dari ucapannya barusan. Walaupun aku tahu ucapannya sudah cukup jelas.
"Benar. Seorang gadis primadona kampung dengan pemuda mapan dan berpendidikan yang baru pulang dari kota, kami pasti jadi pasangan yang serasi. Lagipula, orang tua gadis mana yang mampu menolak lamaranku." .

Kami hanya berjalan dalam diam sebelum akhirnya berpisah di pertigaan jalan. Aku mengingat kembali kata-kata Restu tadi. Kata-katanya penuh kesombongan dibenakku. Aku jadi membenarkan kata orang-orang kampung tentang Restu sejak kepulangannya dari kota. Bagaimana dia melajukan mobilnya begitu cepat hingga hampir menyerempet Pak Karjo yang pulang dari kebun. Bukannya meminta maaf, Restu malah menyumpah serapah Pak Karjo. Sejak itu orang-orang rajin membicarakannya. Bukan kebaikannya, tapi kesombongannya. 

Sepertinya dia telah lupa pelajaran hidup yang dulu sering disampaikan Abah Mahmud ketika kami selesai mengaji. Abah selalu mengingatkan kami semua bahwa hidup itu harus seperti padi, semakin berisi semakin merunduk. Tapi tidak dengan Restu. Semakin dia hebat semakin dia meninggikan kepalanya, sombong.

Kalo ditanya lagi, apakah aku iri padanya? Tentu saja tidak. Biarlah pemuda yang baru pulang dari kota itu belajar bagaimana seharusnya bersikap. Dan akupun tak perlu takut perihal lamarannya karena aku tahu pasti apa yang akan Ayu pilih. 


You may also like

1 comment: